Home » » Hari Pembebasan Kaum Perempuan

Hari Pembebasan Kaum Perempuan


KALAU kita menyimak catatan sejarah perjalanan Hari Ibu yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 22 Desember,
muncul kesan bahwa semangat perjuangan kaum perempuan tempo dulu ternyata tidak sedangkal semangat yang sering
ditampilkan pada peringatan Hari Ibu saat ini seremonial dan bahkan konsumerisme. Dulu, mereka tidak hanya gigih
dalam menyuarakan hak-haknya, tetapi juga berani memikul senjata turun ke medan perang untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa ini.

Adalah sejarah yang mencatat bahwa dua bulan setelah Sumpah Pemuda dideklarasikan, persisnya pada tanggal 22
Desember 1928, maka berkumpul sekira 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra untuk
menyelenggarakan kongres pertamanya dengan mengambil lokasi di Yogyakarta. Salah satu agenda pokoknya adala
menggabungkan organisasi-organisasi perempuan Indonesia dalam sebuah federasi tanpa sama sekali membedakan
latar belakang politik, suku, status sosial dan bahkan agama.

Hadirnya organisasi seperti Aisyiah, Wanita Katolik, Putri Indonesia, Jong Java bagian Perempuan, Jong Islamieten Bond
bagian Wanita dan Organisasi Wanita Utomo, adalah bukti sejarah bahwa semangat pluralisme (keberbedaan) yang
merupakan modal utama untuk membangun persatuan, sesungguhnya telah tumbuh subur di kalangan tokoh wanita
sejak dua pertiga abad yang lalu. Tidak keliru kalau momentum yang kini diperingati sebagai Hari Ibu itu hadir sebagai
puncak kebangkitan kesadaran kaum perempuan Indonesia dalam rangka menghimpun kekuatan bersama untuk bisa
keluar dari berbagai ketertinggalannya.

Jangan lupa, adalah sejarah pula yang mencatat bahwa dari kongres perempuan Indonesia yang pertama itu berhasil
dirumuskan beberapa rekomendasi penting dalam rangka memperjuangkan hak-haknya. Tuntutan kaum perempuan
kepada pemerintah tentang pemberian beasiswa untuk anak perempuan dan sekolah-sekolah perempuan, penolakan
tradisi perkawinan anak perempuan di bawah umur termasuk kawin paksa, sampai tuntutan pemberlakuan syarat-syarat
pelaksanaan perceraian yang tidak merugikan hidup kaum perempuan, adalah beberapa rekomendasi penting yang lahir
dari kongres perempuan pertama 75 tahun yang lalu.

Yang tidak kalah pentingnya, dari kongresnya yang pertama itu pula lahir kesepakatan untuk mendirikan badan
musyawarah bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dengan misi pokoknya untuk menjalin
hubungan di antara semua perhimpunan perempuan, termasuk di dalamnya kesepakatan penyelenggaraan kongres
perempuan tahunan dalam rangka mengisi dan memelihara kelangsungan perjuangannya. Melalui kongres perempuan
pertama itu pulalah berhasil dirumuskan beberapa rekomendasi yang berisi tuntutan penerbitan surat kabar sebagai
media untuk meyuarakan hak-hak kaum perempuan sampai kepada tuntutan pemberian bantuan khusus bagi
perempuan janda dan anak yatim.

Itu semua menunjukkan bahwa jauh sebelum ada lembaga yang sekarang banyak menyuarakan arti pentingnya
kesetaraan dan keadilan gender, bahkan jauh sebelum kemedekaan Indonesia diproklamasikan, kaum perempuan
Indonesia ternyata telah memiliki kesadaran mengenai arti pentingnya pendidikan dan kesehatan sebagai modal utama
untuk bisa keluar dari berbagai ketertinggalannya. Semua itu juga memberi isyarat kepada kita bahwa gerakan kaum
perempuan pada saat itu sesungguhnya tidak kalah majunya dibanding dengan perjuangan kaum perempuan saat ini.
Bahkan jika kita menyimak catatan penting yang dihasilkan oleh kongres perempuan tahun-tahun berikutnya seperti
tertuang dalam buku ”Peringatan 30 tahun Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1958”, kita pun akan segera
mengetahui bahwa banyak dari isu sentral yang diangkat gerakan perempuan saat ini, sesungguhnya merupakan isu
yang pernah diagendakan dalam perjuangan kaum perempuan tempo dulu.

Sebagai gambaran, jika saat ini kita, bahkan komunitas dunia banyak bicara mengenai masalah perdagangan anak dan
kaum perempuan, maka jauh sebelumnya kaum perempuan Indonesia pernah mengungkapkannya pada Kongres PPPI
tahun 1930 yang ditandai dengan lahirnya kesepakatan untuk membentuk Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan
Perempuan dan Anak-anak (P4A).

Bukan hanya itu, Kongres PPPI tahun 1930 itu juga telah melahirkan rumusan kerja lebih konkret lagi yang antara lain
ditandai dengan lahirnya rekomendasi yang meniscayakan arti pentingnya penyelidikan kondisi kesehatan kaum
perempuan dan sebab-sebab terjadinya kematian bayi di pedesaan, rekomendasi megenai arti pentingnya kampanye
berkait dengan segala akibat buruk yang ditimbulkan dari banyak kasus perkawinan usia dini sampai kepada upaya
mempelajari hak pilih bagi kaum perempuan yang sekaligus merupakan wujud kesadaran kaum perempuan waktu itu
akan arti pentingnya upaya bisa mengakses kekuasaan sebagai media untuk mewujudkan perjuangannya.
Kalau dirinci, sesungguhnya masih begitu banyak kiprah sekaligus sumbangan pemikiran berarti yang telah diberikan
kaum perempuan pada saat itu. Simak cuplikan pidato Soekarno di hadapan peserta kongres pertama kaum perempuan
tanggal 22 Desember tahun 1928 waktu itu yang mengisyaratkan besarnya perhatian sekaligus pengakuan tokoh politik
terhadap potensi yang dimiliki gerakan kaum perempuan pada saat itu sebagai berikut:

”Berbahagialah kongres kaum ibu; diadakan pada suatu waktu, di mana masih ada sahadja kaum bapak Indonesia jang
mengira, bahwa perdjoangan mengedjar keselamatan nasional bisa djuga lekas berhasil zonder sokongannja kaum ibu;
oleh karena dari pada kaum bapak masih banyak jang kurang pengetahuan akan harganja sokongan kaum ibu itu; kita
tidak sahadja gembira hati akan kongres itu oleh karena kaum bapak belum insyaf akan keharusan kenaikan deradjat
kaum ibu,- kita gembira ialah teristimewa djuga oleh karena di kalangan kaum ibu sendiri belum banjak jang mengetahui
atau mendjadikan kewajibannja ikut menjeburkan diri di dalam perdjoangan bangsa, dan belum banjak jang berkehendak
akan kenaikan deradjat itu.” (Soekarno, Kongres Kaum Ibu, 1928).

Tersirat dalam cuplikan pidato itu adalah sikapnya yang sangat mendorong kebangkitan kaum perempuan dalam rangka
memperjuangkan hak-haknya. Bahkan seperti pernah ditulis Gadis Arivia dalam artiakelnya yang berjudul ”Soekarno dan
Gerakan Perempuan (2001), Bung Karno punya obsesi yang lebih karena ingin menjadikan gerakan perempuan waktu itu
sebagai bagian dari gerakan memperjuangkan kemerdekaan. Itulah pula awal sejarah yang kemudian mengilhami
banyak organisasi perempuan setelah itu terlibat secara langsung dalam perjuangan kemerdekaan.

Pada tahun 1930, misalnya, Istri Sedar yang didirikan di Bandung muncul menyatakan diri ingin meningkatkan status
perempuan Indonesia melalui perjuangan kemerdekaan. Gagasan dasarnya, tidak bakal ada persamaan hak antara laki-
laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah, kaum perempuan dari kalangan parpol dan
ormas berbasis agama Aisyiah dan Wanita Katolik menjadikan perjuangan kemerdekaan sebagai agenda utamanya. Hal
yang sama juga dilakukan pula oleh Wanita Muslimat dari Masyumi.

Lima belas tahun berikutnya, tahun 1945, di Bandung lahir organisasi bernama Lasjkar Wanita Indonesia (Lasjwi) yang
dibidani oleh Aruji Kartawinata. Mereka yang tergabung dalam organisasi ini, sebagiannya berani mengangkat senjata,
sebagian yang lainnya bertugas membantu prajurit yang luka kalau bukan menyiapkan makanan bagi para prajurit yang
sedang bertempur dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.
Begitu luhur dan mulia, bahkan berani, itulah kesan yang muncul kalau kita menyimak sejarah perjuangan kaum
perempuan yang awalnya diilhami oleh penyelenggaraan kongres perempuan pertama pada tanggal 22 Desember tiga
perempuan abad yang lalu. Itu pula sebabnya, tidak berlebihan jika Hari Ibu yang setiap tahun diperingati bangsa ini,
sepatutnya kita selenggarakan tidak hanya dalam bentuk seremoni yang hampa makna, apalagi penuh hura-hura.
Sebaliknya, kita jadikan momentum Hari Ibu itu sesuai dengan akar historisnya sebagai hari pembebasan kaum
perempuan dari berbagai belenggu yang menindasnya.
Kian maraknya kasus perdagangan anak dan perempuan, masih tinginya angka kematian ibu akibat kehamilan atau
melahirkan, masih banyaknya korban kaum perempuan akibat tindakan kekerasan dalam rumah tangga, adalah beberapa
saja dari sekian banyak masalah yang harus dijadikan agenda utama perjuangan kaum perempuan Indonesia saat ini
dan ke depan. Wilujeng Hari Ibu!***

Penulis : Mahasiswi STAIN Jember

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Kategori

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Bidadari Syurga - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger